Selasa, 22 November 2011

Cerpen "Suatu Pertemuan"

Kami duduk berhadap-hadapan di dalam sudako—angkutan kota berwarna kuning—yang melintasi Jalan Sisingamangaraja XII Medan. Dia membisu, asyik membaca majalah wanita yang taksiranku baru dibeli. Masih wangi kertas dari percetakan.
Aku mencoba-coba mengingat siapa dia, tersebab ada gelenyar di dada, bahwa dia seperti pernah bersua denganku sewaktu kuliah di UISU, universitas swasta tertua di Medan. Hmm, siapa dia? Kenapa dia sangat dingin, meski berulang- ulang sejak dari Terminal Sambu aku mencoba menarik perhatiannya? Ketika kutarik rokok jambu bol yang kubawa dari Palembang, lalu mengisapnya setelah nyalanya bergemeretek, dia acuh. Termasuk saat aku mencoba membuarkan asap ke wajahnya yang menyisakan kecantikan di lima belas atau dua puluhan tahun lalu. Hmm, perempuan yang dingin!
Sebaliknya aku memaki-maki diri sendiri. Apa pula setua ini ingin berganjen dengan perempuan! Dia pasti sudah bersuami, dan paling tidak lebih mencintai suaminya ketimbang diriku yang berbadan kurus-berwajah tirus. Cuma, tak ada salahnya mencoba berbincang sejenak dengannya karena aku yakin kami pernah akrab bertahun silam. Sekalian kalau bisa, kami menautkan rasa. Siapa tahu dia sudah melajang seperti diriku yang telah ditinggal mati istri dua setengah tahun lewat.
Dia akhirnya menghentikan laju sudako persis di depan kampus UISU. Entah pengaruh apa, aku tiba-tiba ikut turun. Tujuan utamaku adalah rumah kakak di Amplas. Tetapi, peduli setan, aku tak ingin kehilangannya. Ketertarikanku kepadanya sejak sekian menit lalu semakin memerangkap. Baru kali ini aku merasakan awal puber yang kedua. Ha-ha- ha, dasar laki-laki penggatal!
”Kenapa Anda mengikuti saya terus!” Dia menusukkan ujung majalah ke ulu hatiku. Aku tersedak. Terkejut sangat karena dia merespons balik sedemikian cepat. Terpaksalah aku mengubah sikap lebih santai sambil bersiul-siul.
”Maaf, Anda merasa terganggu?” tanyaku.
”Jelas! Apalagi oleh orang setua Anda!” Dia menggeram. Dia melangkah cepat meninggalkanku. Kususuri juga sisa jejaknya. Sementara angin sepoi seketika mengentak. Daun-daun akasia tua dan coklat beterbangan di sepanjang jalan. Rambut perempuan itu berkibar sehingga rambut putihnya yang tergerai sepunggung terbelah dua. Sepintas kulihat tahi lalat besar di tengkuknya. O, tidak salah lagi. Dia memang mantan teman kampusku. Tidak salah lagi! Andaikan dia masih bersuami, tak masalah bagiku. Aku hanya merindukan berbincang dengan seseorang demi mengenang masa lalu, setelah semua orang terdekatku seperti berusaha mengindariku. Dari anak-mantu sampai cucu-cucu. Siapa pula yang mau bercakap dengan orang menjelang pikun begini?
”Saleha!” Memoriku kiranya belum majal nian. Aku ingat nama perempuan itu. Aku ingat wajahnya yang manis. Sikap manjanya dulu ketika berkumpul dengan teman-teman. Sayang, aku hanya bisa menyentuh wajahnya dengan khayalku dari jauh. Aku memendam cinta kepadanya sampai empat tahun. Selebihnya aku dongkol sendiri. Dia lebih dulu menjadi sarjana Sastra Inggris, sementara aku hampir-hampir bergelar mahasiswa abadi setelah susah payah mampu menamatkan kuliah di tahun kedelapan.
Sontak dia berhenti. Menatapku nanap. ”Anda siapa?” Dia menghentikan langkah. Tujuannya naik becak urung sudah. Tukang becak yang distopnya mendelik dan mengumpat.
”Hariman! Hariman Sipahutar! Masih ingat?” Aku sangat ragu dia mengingatku. Karena semasa kuliah dulu, aku hanyalah anak bawang bila dikaitkan dengan masalah perempuan.
”Hariman Sipahutar? Kau, kau penulis novel hebat itu, kan?” Dia mendekat, langsung menjabat tanganku erat-erat. Mata dinginnya mencair serupa segelas es teh manis yang menggoda.
Aku berharap dia tak mengenaliku dari kehebatan seorang novelis, tetapi dari kenangan saat kami sama-sama kuliah. Sekarang, ternyata dia lebih menghargai karya bertuliskan namaku ketimbang sosok seorang Hariman Sipahutar. Hiks!
”Tidak sehebat-hebat itulah!”
”Tetapi benar Anda, kan?”
”Hmm!”
Perubahan yang drastis. Dia langsung menelepon seseorang dari HP-nya, setengah berteriak kegirangan tentang keberadaanku. Dia meminta dijemput naik mobil. Kemudian tersenyum sambil memperbincangkan tentang dunia tulis-menulis, tentang novel trilogi-ku berjudul Ziarah Hati jilid kedua kapan terbit, tersebab dia sudah ingin membaca kelanjutan ceritanya yang mengharu biru itu.
Kini aku yang menjadi salah tingkah. Aku yang akhirnya menyesal kenapa satu sudako dengannya. Kenapa harus mengikuti langkahnya sehingga pertemanan yang tak mengenakkan ini terwujud.
Perasaan tak nyaman berlanjut di rumahnya yang megah. Hampir seluruh sanak keluarganya berkerumun. Mereka memiliki nyaris semua novel bertuliskan namaku. Mereka meminta tanda tanganku. Menggenggam jemariku. Memerkosaku dengan makanan minuman. Sementara cara berbicara Saleha semakin berapi. Dia hafal seluruh jalan cerita novel-novel yang aku sendiri alpa. Aku gelagapan ketika ditusuknya dengan pertanyaan-pertanyaan tentang tokoh novel ini-tokoh novel itu.
Saleha juga tanpa malu-malu mengatakan sudah menjanda. Dia tersipu saat kukatakan bahwa kami sama-sama lajang tua. Anak-cucunya menggoda, menjodoh-jodohkanku dengannya. Siapa pula yang tak bangga, penulis novel ternama bisa memasuki rumah dan kemungkinan besar menjadi salah seorang anggota keluarga mereka!
Cukup sudah! Aku harus buru-buru permisi. Aku tak ingin rasa yang mengganjal dada bisa meledak dan membuatku merasa amat bersalah.
”Kapan bisa bertemu lagi?” Saleha memastikan. Kutatap dia di cahaya remang senja. Hampir malam.
”Kapan, ya?”
”Sibuk?” kejarnya.
”Saya menunggu telepon Anda saja.”
Dia sangat berterima kasih. Digenggamnya tanganku erat- erat seolah tak ingin dilepas. Namun, semua ini harus dihentikan. Aku tak mau dipuja-puji hanya oleh novel-novel itu.
Saleha akhirnya tak sabar bersua aku. Pada malam yang sedikit berkabut, kami berjanji bertemu di sebuah kafe di kawasan Kesawan. Aku harus menjelaskan semuanya sebelum terlambat. Aku tak ingin dirundung kesalahan bertimpa-timpa saat orang yang pernah kucintai itu merindukan pelukan bayang-bayang semu. Saleha harus memahami kondisi ini. Termasuk mungkin orang- orang yang selalu memuja novel-novel itu. Aku tak ingin hidupku berujung kebohongan-kebohongan, yang menyebabkanku kembali kepada Pencipta tanpa bekal apa-apa, kecuali cap wajah sebagai penipu kelas berat.
Tetapi, jangan pernah menghakimiku. Semua kulakukan bukan tanpa sebab. Kau tak perlu tahu sekarang sebelum aku berterus terang kepada Saleha. Tentang semuanya sehingga terang- benderang serupa pagi.
Mien, keponakanku, sengaja mengantarkanku dengan VW kodoknya. Bukan apa-apa, perempuan yang sebelumnya amat susah dimintai tolong ini ternyata senang sekali saat aku meminta diantarkan ke kawasan Kesawan. Tanpa diperintah untuk yang kedua kali dia langsung mengambil kunci mobil.
Brrm! Mobil melaju pelan.
”Benar Kakek mau bertemu seorang perempuan?” Mien senang memanggilku dengan sebutan kakek, sama seperti keponakan-keponakanku yang lainnya. Mungkin penampilanku yang kian renta ini penyebabnya. ”Calon kekasih, ya?” Dia tertawa ketika kupelototi. ”Ini jadi rahasia kita lho, Kek!”
Shit!
Aku menyuruh Mien berhenti ketika melihat Saleha memasuki sebuah kafe. Ban mobil mendecit. ”Boleh ikut, Kek?”
”Pulanglah!” usirku.
”Yang pacaran! Ha-ha-ha!” Dia mengedipkan mata sambil berlalu meninggalkan debu.
Malam sudah sangat merapat. Aku menghela langkah ragu-ragu serupa seorang kekanak yang terlambat pulang sekolah dan sedang ditunggu sang bunda. Saleha langsung melihatku. Dia melambai. Dia duduk di sudut kafe bersama seorang perempuan yang nyaris setua dia. Pengganggu!
Beruntunglah setelah bersalaman dengan perempuan itu, sekalian berbincang apa adanya, si perempuan permisi setelah dijemput seorang pemuda. Mungkin anaknya.
Masih seperti seminggu lalu, Saleha tetap antusias membicarakan novel-novel itu. Bahkan dia berniat berguru kepadaku. Namun kutanggapi dingin, sama dinginnya dengan jus wortel yang terhidang di depanku.
”Saya memesan teh hangat saja. Tak biasa meminum air es.” Kupanggil seorang pelayan. Saat teh hangat itu terhidang di meja menggantikan jus wortel itu. Saleha seperti merasa bersalah. Dia tak tahu kalau aku anti yang dingin-dingin. Tak apa menurutnya, jus wortelku biarlah dibungkus plastik saja.
”Saleha, apakah kau pemuja kejujuran?” tanyaku akhirnya.
”Kejujuran? Kejujuran apa itu?” Pipinya bersemu merah. Dia barangkali mengira aku ingin mengatakan ingin memacarinya.
”Meski kejujuran itu akhirnya membuat orang kecewa?” lanjutku.
”Kejujuran itu memang pahit, Hariman!”
Aku mendesah satu kali. Kuhirup teh hangat. Kucicipi sepotong kecil kue khas Medan, bika ambon. Kemudian aku memulai berbicara sangat berat karena mengungkapkan kejujuran adalah lebih sukar ketimbang berbohong. Begitulah!
”Kalau saat ini aku mengatakan bahwa novel trilogi Ziarah Hati dan juga yang lainnya itu bukan karyaku, tanggapanmu bagaimana?”
”Mustahil!” Dia menikmati martabak mesir di hadapannya.
”Ini benar, Saleha!”
Dia menghentikan suapannya. Sendok mengapung di atas piring bulat putih itu. Segera diturunkannya lagi pelan, manakala dia merasakan keseriusan dari mulutku.
Kukatakan bahwa sebenarnya semua novel yang bertuliskan namaku adalah karya Sulaiman, seorang sahabatku di Palembang. Dia sengaja meminjam namaku karena tak ingin cerita di novel- novel yang merupakan realitas hidupnya menjadi bumerang.
”Aku tak ingin keluargaku, keluarga istriku tahu bahwa akulah penulisnya. Bila mereka tahu, aku menjadi yang tersalah. Mereka pasti membenci aku sehingga anggapan bahwa aku si babi yang brengsek memang betul. Bisa-bisa aku tersingkir dari dua keluarga besarku, lalu aku menjadi sebatang kara.” Begitu awalnya Sulaiman mengajuk meminta namaku terpacak di novelnya.
”Berarti dia ghostwriter, dong!” sela Saleha.
”Jangan menuduh kawanku terlalu naif begitu, Ha. Kalau aku memang memberi imbalan atas penulisan namaku di novel-novel itu demi sebuah ketenaran, tak masalah kau menyebutnya ghostwriter. Tetapi, ini persoalannya berbeda.”
”Maaf kalau kau tersinggung!” katanya. Kudapati wajahnya sedemikian terkejut. Sikapnya menjadi tak utuh lagi kepadaku. Tatapnya seperti menjaga jarak. Ya, inilah sebuah jawaban kejujuran. Kejujuran itu tetap pahit. Bagaimana kelak kalau seluruh orang Indonesia yang pernah membaca novel-novel bertuliskan namaku mengetahui rahasia ini? Jangankan tomat busuk, telur busuk pun mungkin akan dijejalkan mereka ke setiap hela langkahku.
Kuteruskan bercerita kepada Saleha. Bahwa setelah berbilang tahun novel Sulaiman menjadi best seller, aku sama sekali tak pernah mencicipi royaltinya. Memang yang berurusan dengan penerbit serta kegiatan lain pascacetak, aku yang mengambil alih. Begitupun, aku hanya menikmati biaya perjalanan dan makan-makan enak bila harus berjumpa fans. Mengenai uang saku, sama seperti royalti, kuserahkan bulat- bulat kepada Sulaiman. Dia memang memberiku pembagian cukup besar. Namun, semuanya diam-diam kusumbangkan ke masjid.
Hingga suatu kali orang-orang di sebelahku terbelalak ketika segepok uang kutaruh ke tempat infak yang terbuat dari baskom plastik. Kejadiannya sebelum shalat Jumat. Orang-orang itu langsung kagum. Bahkan usai shalat, mereka mencoba mengejarku. Tetapi, aku cepat menghindar, dan berhenti shalat di masjid itu. Selanjutnya uang pemberian Sulaiman kusumbangkan ke mana-mana dengan cara lain yang lebih tersembunyi.
Aku tak ingat berapa tahun setelah novel pertama Sulaiman terbit, dia meninggal karena kecelakaan lalu lintas. Sebelum meninggal, dia memintaku menerbitkan seluruh karyanya yang tersimpan di rumah kontrakannya. Meskipun berduit banyak, dia tetap senang tinggal di rumah kontrakan ketimbang di rumah mertua bersama istri atau kembali ke rumah orangtuanya.
”Kau tahu, disketnya sangat banyak, menyimpan karya-karya yang begitu bagus. Itulah yang kuterbitkan sampai sekarang. Masalah royalti kukirim pakai wesel ke istrinya tanpa nama pengirim. Aku bekerja sama dengan orang di kantor pos.” Kuembuskan napas panjang demi membuang sesak di dada. ”Itulah ceritanya. Inilah kejujuranku!”
Tatap mata Saleha semakin meredup. Tak ada nyala sumringah di situ. Namun, dia masih ragu-ragu memercayai ceritaku. Seperti dongeng anak-anak, katanya.
Merasa susah hati, akhirnya aku pamit duluan. Tetapi, dia buru-buru menahan langkahku. ”Ngomong-ngomong, pertama kali kita bertemu, Anda tahu nama saya dari mana?” Dia kembali ber-saya dan Anda denganku.
Blesss! Seolah ada tikaman menghunjam hati ini. Ternyata sampai sekarang dia tak tahu bahwa aku adalah seorang mantan teman kuliah yang diam-diam mengaguminya sekian tahun lalu. Oh, pecundangnya kau Hariman!
”Oya, aku membaca di sampul majalah yang kau baca di sudako,” dustaku.
Dia mengernyit. ”Sepertinya saya tak menuliskan nama saya di situ. Apa saya lupa, ya? Maklumlah mulai pikun.” Tawanya pecah, tetapi cenderung tak lepas. Nyaris sengau!
Dan kami akhirnya berpisah.

Minggu, 20 November 2011

Cerpen 7 Menit Saja


PART I

Di sebuah apartemen bergaya classic, seorang wanita turun dari mobilnya yang ia parkir di halaman depan apartemennya. Ia berjalan menuju lift yang akan membawanya ke lantai 27, letak apartemen yang baru dibelinya 6 bulan yang lalu.
“huft…akhirnya sampai jg di apartemen!!??” kata wanita itu sambil membuka jas putihnya yang bertulisan “dr. Reysa Aridian Siregar Sp. EM”. Wanita ini seorang dokter spesial emergency, atau dokter spesialis gawat darurat. Ia merupakan dokter spesialis termuda di indonesia, ia masih berumur 23 tahun. Panjang ceritanya bagaimana ia bisa menjadi seorang dokter di usianya yang sangat muda.
            Sasa mulai merebahkan tubuhnya di kasur yang luas dan empuk itu. Sasa adalah nama panggilan dari Reysa tetapi hanya sahabat-sahabatnya yang memanggil demikian. Belum 5 menit Sasa memejamkan matanya, bel di apartemennya berbunyi. Dengan wajah yang lelah sasa berjalan ke arah pintu. Sebelum di buka, ia mengintip terlebih dahulu siapa yang datang melalui lubang kecil yang ada di pintu. Tangannya mulai bergerak membuka kunci pintu, karena ia hafal benar dengan wanita yang datang ke apartemennya itu. Tanpa di persilahkan masuk wanita itu sudah ada di dalam apartemen Sasa.
“Sasa..lo baru datang ya??” tanyanya sambil memeluk. Sasa menjawab hanya dengan anggukan kepalanya saja.
”Sa, sebenernya gue pengen ngajak lo pergi!?? Tapi gue yakin lo pasti ga’ mau kan??” cetusnya.
“De, aku sekarang masih capek. Besok aja ya?soalnya besok aku libur, gimana??” tanya Sasa mencoba berkompromi dengan wanita yang bernama Dea Ananda tersebut.
”mmm..ya uduh deh, kalau gitu kita perginya besok aja. Gue liat wajah lo emang kucel kayak orang kekurangan tidur. Lo tu aneh ya Sa, masak semua masa muda lo habiskan di Rumah Sakit, ga’ bosen lo??” tanyanya Dea heran.
“ga’..aku enjoy koq” jawab Sasa singkat.
“ya udah gue pulang dulu, sampai jumpa besok ya!!??da..dah..” dea pergi sambil melambaikan tangannya.
Sasa tersenyum dan mulai ingat peristiwa pertemuannya dengan Dea 5 bulan yang lalu. Saat itu Sasa masih 1 bulan di apartemennya, tidak sengaja Sasa mendengar teriakan yang keras dari kamar sebelahnya yaitu kamar Dea. Waktu itu Dea menangis karena ditinggal oleh mantan tunangannya yang menikah dengan wanita lain. Dea mencoba bunuh diri dengan memotong pergelangan tangannya dengan pisau. Beruntung Sasa mengetahuinnya dan menolong Dea hingga nyawanya terselamatkan. Sasa mulai membantu Dea dalam menyembuhkan fisik maupun psikologisnya. Hingga akhirnya Dea sembuh dan ceria kembali. Dea seorang anak pemilik cafe ternama di Jakarta, karena hal itu membuat Dea sangat manja terhadap orang tuanya. Dea lebih tua 2 tahun dibanding Sasa, meskipun demikian Sasa lebih dewasa dalam berpikir dibanding dea. Sejak kejadian itu Sasa dan Dea menjadi sahabat. Setiap pagi Dea sering membuatkan Sasa susu coklat karena ia tahu sahabatnya itu, suka susu coklat dan Sasa tidak akan sempat membuatnya.
            Sasa menghentikan lamunannya, ia mulai mengambil handuk dan mandi. Sambil menghanduki rambutnya yang basah Sasa mengambil telpon untuk memesan makanan, karena seharian ia lupa belum mengisi perutnya.
             

PART II

            Hari ini Sasa libur kerja, sesuai janjinya ia akan keluar dengan Dea sahabatnya. Sasa sudah berpakaian rapi, karena pagi-pagi sekali Dea sudah mengigatkan Sasa untuk siap-siap jam 8 pagi. Sasa menyisir rambutnya perlahan-lahan, belum selesai menyisir. Belnya berbunyi, Sasa sudah tahu siapa yang datang sebelum ia melihatnya.
”udah masuk aja pintunya ga’ dikunci.” teriak Sasa dari dalam.
“loh..lo koq tahu sih, kalau gue yang datang??” tanya Dea.
“siapa lagi coba, yang datang pagi-pagi selain kamu.” sahut Sasa.
“hehe..aduh, pakaian lo resmi banget kayak mau ke kondangan aja!! Kita kan mau ke DUFAN..” protes Dea
“yah..kamu kan ga’ bilang mau kesana, berarti aku ganti baju dulu donk???” protes Sasa yang tidak terima karena Dea tidak bilang tujuan mereka hari ini.
sorry..sorry..ya udah ganti baju sana!!” jawab Dea sambil tersenyum.
            Mereka berdua mulai berjalan ke area parkir apartemen.
“pakek mobil gue aja ya??” tanya Dea.
okey..” jawab Sasa singkat.
Mereka mulai memasuki mobil dan berjalan ke arah DUFAN. Dalam perjalanan mereka bercanda sampai akhirnya Dea bertanya sesuatu yang tidak pernah ia tanyakan pada Sasa selama 6 bulan lamanya mereka bersahabat.
“Sa, boleh tanya sesuatu ga’??” Dea memasang wajah serius.
”apa??” Sasa menoleh ke arah Dea sebentar, karena dia takut kehilangan arah kendali mobilnya.
”slama kita bersahabat, lo ga’ pernah cerita tentang cowok., udah punya pacar apa belom?? Atau jangan-jangan lo dah tunangan?? Atau dah nikah kale??” tanya Dea dengan wajah mengerutkan dahi.
Sambil tersenyum dan menjawab, ”ada-ada aja!!emeng wajahku ada tulisannya kalau aku udah nikah atau tunangan ya??”
”ga’ ada!!” sahut Dea.
”ya udah kalau gitu.” jawab Sasa.
”gue bingung deh, emang harus ada tulisannya. Capek de ngomong ma lo..” sahut dea kesal.
“yuk turun dah sampai.” kata Sasa.
“asyik..gue mau naik semua wahana yang ada disini.” Dea lompat-lompat kegirangan mirip anak SD yang dikasih duit seribu.
“kamu ngapain sih de..lompat-lompat ga’ jelas kayak gitu.” protes Sasa keheranan melihat kelakuan Dea yang berlebihan.
Mereka berdua membeli tiket dan mencoba wahana yang ada di DUFAN tersebut. Sampai akhirnya perut mereka tidak mau kompromi untuk menahan lapar lagi, mereka memutuskan untuk mencari restoran didekat tempat bermain tersebut. setelah sekitar 10 menit berputar-putar mereka memutuskan makan di restoran seafood. Restoran tersebut tampak sangat romantis, disekelilingnya tampak lampu-lampu hias yang menyinari taman-taman untuk menuju restoran tersebut. Dea memilih lokasi tempat duduk yang dekat dengan kolam ikan yang tidak beratap, jadi setiap pengunjung yang memilih tempat tersebut dapat melihat ikan-ikan hias yang cantik-cantik ditemani bintang-bintang yang cantik pula.
“restoran ini nyaman ya??” tanya Dea.
“ya, aku juga merasa sangat nyaman disini.” sahut Sasa.
“kita koq bisa ga’ tahu ya kalau ada tempat sebagus ini disini.” Lanjut Dea.
“emang kita ga’ pernah kesini.” jawab Sasa.
“hehe..ya juga sih. Makanannya enak lagi.” Dea cengar-cengir.
“he..emm” jawab Sasa lagi.
Dengan lahap mereka menghabiskan semua makanan yang mereka pesan.
“ah..kenyang..kapan-kapan kita kesini lagi ya??” tanya Dea.
okey..eh, aku mau ke toilet dulu ya??” sahut Sasa.
”jangan lama-lama loh..ntar gue ada yang nyulik lagi!!” sahut Dea dengan wajah so’ ketakutan.
“siapa juga yang mau nyulik kamu. Orang makannya banyak!!” jawab Sasa.
”huft...dasar lo!!” sahut Dea.
Sasa menuju toilet, ia melihat wajahnya di kaca. Melihat apakah ada makanan di sekitar mulutnya. Setelah membersihkan tangannya ia segera kembali, takut-takut apa yang dikatakan Dea benar-benar terjadi, walaupun itu tidak akan terjadi. Handphone Sasa bergetar , ia melihat nama Dea yang keluar pada layar Hpnya. Ia buru-buru meninggalkan toilet dan..
”braakkk...” Sasa menabrak seorang laki-laki yang tingginya 12 cm diatas Sasa, laki-laki itu memakai jas hitam dengan dasi yang juga hitam. Laki-laki itu berpenampilan layaknya eksmud (baca: pengusaha muda), berwajah tampan, dan berkulit putih bersih.
”maaf..maaf..” kata Sasa sambil melihat orang yang ia tabrak. Wajah laki-laki tersebut tidak asing bagi Sasa. Sasa terkejut orang yang ia tabrak adalah kakak kelasnya waktu SMA.
”kalau jalan hati-hati” jawab laki-laki tersebut dingin, sambil berlalu tanpa melihat wajah Sasa sedikitpun.
”Sasa..sasa..sasa..ayo pulang!!” teriak Dea yang menyadarkan Sasa dari lamunannya.
           
Sasa dan Dea menuju apartemen masing-masing...
”selamat malam sa..dah” kata Dea.
”malam..dah..” jawab Sasa singkat.
Sasa masih memikirkan kejadian tadi di restoran, ia mulai membuka foto-foto SMA-nya kembali. Ia melihat foto dirinya bersama kakak kelas yang baru ia tabrak tadi, dalam foto itu selain dirinya ada 2 orang sahabatnya lagi.
”Resky Rahadian Hidayat...” bisiknya
”ternyata dia sudah tidak mengenaliku lagi. Baguslah, ini akan semakin mudah buatku untuk melupakannya.” lanjutnya.
”Sarah, Fadli..apa mereka masih pacaran?? Entahlah..” Sasa tersenyum tipis menahan rasa sakit yang ada didalam hatinya.
Saat SMA kelas I dulu Sasa bersahabat dengan Sarah, sahabatnya berpacaran dengan Fadli anak kelas III yang juga sahabat Resky. Sasa mulai tertarik pada Resky tapi ia tidak berani mengungkapkan isi hatinya. Ia hanya mengatakannya pada Sarah sahabatnya. Resky adalah anak dari seorang milliader, ia pewaris tunggal dari perusahaan Mobil ternama dan beberapa hotel berkelas Internasional. Resky terkenal playboys di sekolah, ia lebih tua 2 tahun diatas Sasa. Sampai akhirnya saat kelulusan Resky akan kuliah di salah satu Universitas terbaik di dunia yaitu America Univercity. Saat itu Sasa meminta Resky untuk datang menghampirinya di atap gedung sekolah tepat jam 05.30 pagi sebelum matahari muncul, ia minta Resky datang hanya 7 menit saja tapi Resky tidak datang menemuinya. Setelah kejadian itu Sasa tidak pernah bertemu Resky lagi karena ia mendapatkan beasiswa sekolah dan kuliah kedokteran di Jerman.
Sasa tersadar dari lamunannya, ”bodoh, kenapa dia harus mengigatku!! Sudah 7 tahun, dia tidak akan pernah menganggapku penting.” ia menutup kembali album fotonya. Matanya basah meneteskan air mata yang semakin lama semakin deras. Sasa mulai menangis mengigat saat kelulusan, ia melihat Resky tidak menemuinya karena bermesraan dengan wanita lain. Tiba-tiba telponnya berbunyi.
”hallo..” jawab Sasa.
”Sa, di rumah banyak makanan kesini saja kalau mau minta. Barusan nyokap ma bokap gue kesini bawain makanan..” kata Dea.
”aku udah kenyang De..aku mau tidur soalnya aku besok kerja harus berangkat pagi.” jawab Sasa dengan suara agak parau.
”kamu nangis ya Sa???” tanya Dea.
”enggak...” jawab Sasa singkat dan buru-buru menutup telponnya.
Tut..tut...tut...”wah, kenapa ditutup!! Ya udah lah kalau gitu gue makan sendiri ja.” kata Dea bicara pada dirinya sendiri sambil meletakkan telponnya.

PART III

            Sasa siap-siap berangkat kerja, ia sudah meletakkan jas putihnya di tangan sebelah kirinya sedangkan tangan sebelah kananya memakai tas hitam yang terbuat dari kulit. Ia menuju mobilnya, saat perjalanan ia masih teringat kejadian kemarin di restoran. Ia mulai berpikir semenjak ia pulang dari Jerman, ia tidak pernah menghubungi 2 sahabatnya, Sarah dan Fadli.
            Sasa sampai di Rumah Sakit terbaik di ASIA ini, tempat ia bekerja. Ia menuju ruang UGD (baca: Unit Gawat Darurat). Ia meletakkan tas dan memakai jas dokternya di dalam ruangannya. Sasa menuruni tangga untuk menjalankan tugasnya kembali menjadi seorang dokter.
”pagi, dokter Rey...” sapa salah satu perawat disana.
“pagi..” jawab Sasa singkat.
“dokter..tadi ada pasien baru, sudah kami beri tindakan sekarang tindakan selanjutnya kami serahkan pada dokter Rey.” Perawat yang lain melaporkan.
“baik, terima kasih ya..” sahut Sasa.
Sasa mulai menjalankan tugasnya sebagai seorang dokter mulai dari injeksi, RJP, haiting, sampai operasi. Salah satu pasien yang ditanganinya mulai siuman, ia meminta ruang perawatan yang termahal di RS tersebut. Pasien ini bernama Sofi, ia merupakan milliader pemilik banyak perusahaan. Pasien ini sudah berumur sekitar 72 tahun dan semua perusahaannya telah ia wariskan pada cucunya.
           
            Beberapa hari Kemudian.......
Oma Sofi mulai sembuh, ia di ijinkan pulang oleh dokter Sasa. Sasa memanggil Sofi dengan Oma karena permintaannya, mereka berdua sangat dekat seperti bukan dokter dan pasiennya.
”oma, sekarang boleh pulang?? Tapi oma janga lupa harus check up setiap 2 minggu sekali ya..” kata Sasa.
”pasti dokter Rey..terima kasih ya slama ini sudah merawat oma. Trus sering dengerin oma curhat tentang cucu oma yang ga’ mau nikah-nikah walaupun oma jodohkan tetapi tetep gagal.” kata Oma.
”sudah kewajiban saya oma membantu orang yang membutuhkan. Ya udah oma tidak boleh emosi menghadapi cucu oma ya, ntar Hipertensinya kambuh lagi.” sahut Sasa.
Kemudian oma Sofi dijemput oleh supirnya, oma sofi memiliki cucu laki-laki yang berumur 25 tahun yang sekarang menjadi direktur di semua perusahaannya. Oma sofi ingin cucunya tersebut segera menikah tetapi keinginannya tidak dapat terwujud karena menurut cerita oma sofi, cucunya itu sedang menunggu seseorang dari masa lalunya yang ia cintai tapi tidak sempat ia ucapkan pada orang tersebut.
Sasa mulai teringat kembali pada kedua sahabatnya di masa lalu, dan teringat tentang Resky yang menyakiti hatinya.
Tiba-tiba, ”dokter Rey, melamun ya?? Tidak mau pulang?? Atau mau bareng pulangnya??” tanya dokter Fauzi, dokter spesialis bedah ini menaruh hati pada Sasa tapi entah kenapa, Sasa tidak ingin membuka hatinya.
”oh..ya ini mau pulang dokter, saya pulang sendiri saja. Saya bawa mobil sendiri. Mari dokter duluan!!??” sahutnya.
“ya mari..” jawab dokter Fauzi.

Sesampainya di Apartemen...
”Sasa..Sasa..tunggu donk, eh..ntar lo ga’ kerja lagi kan??ntar ikut gue ya??mau donk!!” tanya dea yang tiba-tiba muncul.
”kemana dulu??” tanya Sasa balik.
”ke acara perkawinan.” jawab Dea.
”hah..kok ajak aku, seharusnya ajak siapa gitu. Emang siapa yang kawin??” tanya Sasa.
”yah..kan lo sahabat gue. Yang kawin selebritis terkenal. Dia itu pernah jadi mitra kerja bokap gue jadi diundang deh..mau ya??” tanya Dea lagi.
“kan udah ada tante sama om, ngapaen aku ikut juga??” jawab Sasa.
”duh..mereka berdua itu ga’ bisa datang, trus suruh gue datang buat mewakili mereka. Gue kan malu kalau sendirian. Lo tega liat gue ga’ da temennya disitu. Ayo donk..mau ya??” dengan wajah memelas Dea memohon pada Sasa..
“ya udah deh..tapi ga’ lama kan??” tanya Sasa.
“ga’ janji deh..gimana?” tanya Dea Ulang.
okey..” jawab Sasa setuju dengan berat hati.
”asyikkkk....ntr gue jemput lo jam 7 malam tepat, you’re my best friends” sahut Dea kesenengan.
Sesampainya di kamar Sasa menyalakan televisi, Sasa merasa lama sekali tidak menonton televisi karena selalu sibuk dengan pekerjaannya. Channel yang Sasa lihat yaitu entertaiment, channel yang jarang bahkan tidak pernah Sasa lihat. Sasa penasaran dengan artis yang menikah, yang akan dia datangi bersama Dea nanti malam. Hanya beberapa menit ia melihat, ternyata benar ada kabar tentang selebritis yang akan menikah tersebut. Betapa kagetnya Sasa saat selebritis yang dimaksud adalah ke-2 sahabatnya Sarah dan Fadli. Fadli ternyata menjadi aktor terkenal, sedangkan Sarah bukan selebritis. Entah ia bekerja apa sekarang. Dalam acara tersebut diberitakan bahwa yang akan menjadi saksi dalam pernikahan mereka adalah pengusaha terkaya dan termuda yaitu Resky Rahadian Hidayat. Seluruh tubuh Sasa mulai gemetaran, ia tidak akan sanggup bertemu dengan teman-temannya dan orang yang sangat dicintainya sampai saat ini. Matanya mulai mengeluarkan air mata, Sasa menangis sejadi-jadinya.
            Tangan Sasa mulai mengangkat telpon, ia ingin mengatakan pada Dea kalau ia tidak enak badan dan tidak dapat menemani Dea ke pernikahan Sarah dan Fadli.
”hallo..” sambung Sasa.
”ada Sa??” tanya Dea spontan.
”Dea, aku..” belum selesai bicara Dea memotong pembicaraan Sasa.
“Sa, pokoknya lo harus temenin gue ke acara pernikahan itu. Kalau lo ga’ ikut gue ga’ datang juga, biarin ajak bokap gue dipandang jelek. Gue ga’ peduli.” Kata Dea.
Sasa berpikir alangkah jahatnya ia jika tidak datang, “mm..ga’ koq aku mau temenin kamu. Yang nikah namanya siapa De??” tanya Sasa terpaksa.
”namanya Fadli dan calon istrinya Sarah..lo pasti ga’ tahu aktor yang namanya Fadli kan?? Emang hidup lo tu membosankan, selalu di RS, capek deh..” sindir Dea.
“iya kamu bener..aku sampai tidak tahu, aku separah itu ya??” tanya Sasa sedih.
“iya!!! Ya udah siap-siap yuk ini sudah jm 18.30 ntar lagi brangkat!!dah..” Dea menutup telponnya terlebih dahulu.
Dalam hatinya Sasa berpikir begitu jahatnya dia sampai tidak ingin pergi ke pernikahan sahabatnya. Sasa mulai beranjak dari duduknya dan mulai bersiap-siap untuk berangkat.

PART IV

          Dea sudah berdiri di depan pintu apartemen Sasa. Sebelum Dea memencet bel Sasa sudah keluar dari kamarnya.
“wah, hebat belum pencet bel udah nongol duluan. Hehe..” celetuk Dea.
“udah ayo berangkat!!” sahut Sasa.
Kali ini Dea yang mengendalikan mobilnya. Dalam perjalanan Sasa hanya diam saja, ia bingung apa yang nanti ingin dia katakan jika bertemu dengan Resky dan dua sahabatnya tersebut.
”lo kenapa Sa?? Tumben diam??” tanya Dea.
Sasa hanya menggeleng, tanpa menjawab sepatah kata pun. Dea diam tanpa bertanya apa-apa lagi, karena ia bingung tidak biasanya Sasa terlihat murung seperti ini.

            Hotel Rizt Coltten...
Sasa merasa semakin berat langkah kakinya, tubuhnya terasa lemas. Ia tak mampu membayangkan apa reaksi mereka saat melihat dirinya. Dea menarik tangan Sasa yang berjalan sangat lambat, membawanya masuk ke lift menuju lantai 13 tempat di selenggarakan pesta pernikahan Fadli dan Sarah.
”Sa, itu dia pengantinnya.” tunjuk Dea.
Sasa hanya terdiam. Ia berkata dalam hatinya, ingin rasanya memeluk Sarah.
”ayo Sa, kita kesana.” ajak Dea.
Sasa memberanikan dirinya bertemu dua sahabatnya tersebut. Baru satu langkah kakinya berjalan, ada sosok laki-laki yang mendekati Fadli. Laki-laki itu Resky, ia memeluk Fadli dan bercanda bersama mereka. Sasa menghentikan langkahnya.
”De, kamu sendiri saja ya yang memberikan selamat. Aku tunggu di mobil, aku merasa pusing de.” kata Sasa.
”kalau gitu kita langsung pulang saja, ntar lo pingsan lagi.” kata Dea.
”ga’ aku tunggu di mobil saja. Kamu kasih slamat dulu sama mereka baru pulang.” jawab Sasa.
”ya udah lo tunggu di mobil dulu.” Sahut Dea.
Sasa melangkahkan kakinya dengan cepat, sedangkan Dea menuju pelaminan mempelai. Tiba-tiba Sarah mengagetkan Fadli dan Resky yang sedang ngombrol.
”sayang, Resky...itu seperti Sasa!!??” kata Sarah.
”mana?? Kau tidak sedang menggodaku kan??” tanya Resky pada Sarah karena selama ini sarah selalu menggoda Resky dengan berpura-pura memanggil Sasa.
”tidak, barusan aku liat kalau itu Sasa. Ia menuju kepintu selatan.” sahut Sarah.
”sayang, mungkin kamu salah. Kalau Sasa kesini ia tidak mungkin tidak menemui kita.” kata Fadli.
”tapi aku...., ya mungkin aku salah. Sasa mungkin masih di Jerman,” sahut Sarah kecewa.
Resky hanya diam, ia teringat kembali saat Sasa memintanya menemuinya di atas gedung sekolah dulu. Ia merasa sangat menyesal tidak menemui Sasa saat itu.
”7 menit, jam 05.30..hufh” bisik Resky dalam hatinya.
”Sasa??” tiba-tiba Dea datang, dan membuyarkan ingatan Resky serta mengagetkan Sarah dan Fadli.
Dea mengulangi ucapannya, ”kalian tadi panggil-panggil Sasa ya??”
“ya kamu mengenalnya??” tanya ketiganya serempak.
Dalam pikiran Dea nama Sasa banyak sekali, bukan hanya sahabatnya saja. Dea berpikir pasti bukan Sasa sahabatnya, dalam hatinya Dea berkata,”Sasa ja ga’ tahu siapa Fadli, apalagi Resky. Pasti bukan Sasa ini.”
”mmm..ga’, gue emang punya sahabat namanya Sasa tapi nama aslinya bukan Sasa. Gue yakin yang kalian maksud bukan Sasa sahabat gue. Eh iya..slamat ya?” jawab dea.
”trimakasih..” jawab Sarah dan Fadli kecewa.
            Didalam mobil menuju apartemen, Dea bercerita pada Sasa kejadian yang dialaminya barusan.
”sa, ternyata temen mereka salah satunya Resky Rahadian Hidayat ya?? Gila orang itu ganteng banget Sa. Lo tahu kan Resky tu siapa? Jangan bilang lo ga’ tahu.” kata Dea.
Sasa hanya diam. Dea melanjutkan kata-katanya.
”udah gue sangka, lo ga’ bakalan tahu. Dia pengusaha terkaya dan termuda Sa. Sekarang umurnya 25 tahun. Gue mau deh kalau mau dijadikan istri sama dia. Lo sih Sa buru-buru pergi jadi lo ga’ liat wajah gantengnya.” cerita Dea.
“oh ya..” sahut Sasa.
“oh ya Sa ada yang lebih penting, katanya teman mereka ada yang namanya Sasa juga loh..gue bilang aja kalau gue juga punya sahabat namanya Sasa.” Kata Dea.
“apa??kenapa lo bilang punya temen yang namanya Sasa juga!!” kata Sasa dengan espresi wajah marah.
”emang kenapa Sa?? Emang lo beneran kenal sama mereka” tanya Dea.
”ga’, aku ga’ kenal sama mereka.” jawab Sasa.
Sasa merasakan matanya mulai panas, perlahan-lahan air mata keluar semakinlama semakin deras. Dea mulai curiga, ia menghentikan laju mobilnya di parkiran apartemen.
”ayo Sa turun..” katanya.
Sepanjang menuju apartemen Sasa terus mengeluarkan air matanya. Didalam kamarnya Sasa menagis sejadi-jadinya. Dea memeluk Sasa tanpa tahu apa yang terjadi pada sahabatnya tersebut.
”Sa, kamu kenapa??” tanya Dea.
”hik..hik..hiks..sebenarnya aku Sasa yang mereka cari De. Aku kenal sama mereka, kalau kamu ga’ percaya liat album fotoku ini.” sasa memberikan albumnya pada dea.
Kemudian sasa bercerita mengapa Sasa tidak mau menemui mereka dan semua tentang Resky. Dea ikut menagis melihat sahabatnya menangis dan dea berkata dalam hatinya, dia berjanji akan membawa Resky ke gedung atap sekolahnya dulu.

PART V

            Di tempat yang berbeda, Resky sedang mengakhiri rapat yang ia adakan dengan para bawahannya. Ia kembali ke ruangannya untuk menyelesaikan tugas yang lain. 5 menit ia melihat berkas-berkas yang harus di tandatanganinya, tiba-tiba pintu ruangannya ada yang mengetok.
”tok..tok..tok”
”masuk..” jawabnya.
”maaf pak, tadi ada seorang wanita yang menitipkan surat ini untuk bapak.” sekretarisnya melaporkan.
”surat??ya sudah kamu taruh di meja sana.” jawab Resky.
”baik pak, permisi.” sahut sekretarisnya.
Resky hanya mengangguk, ia melanjutkan melihat berkas-berkas yang akan ditanda tanganinya. Setelah semua berkas selesai. Ia membuka surat tersebut, Resky terkejut melihat isi surat yang ia dapatkan. Surat itu berisi,
”TEMUI AKU DI ATAS GEDUNG SEKOLAH JAM 05.30, BESOK PAGI. KAMU TIDAK BOLEH TERLAMBAT. HANYA 7 MENIT SAJA.”
Tidak ada nama pengirim di surat tersebut, Resky tersenyum dan berkata, ”aku tidak akan melepaskanmu lagi, Sa..”

            Keesokan Harinya...jam 05.00 pagi
Resky sudah berdiri di atas gedung, ia berharap Sasa akan muncul di hadapannya.
Tiba-tiba sesosok sura perempuan mengagetkan Resky dalam lamunannya.
”ternyata lo datang” kata Dea mengagetkan Resky.
”kamu siapa??” tanya Resky dingin.
”gue yang kasih surat itu buat lo” jawab Dea.
”apa?? Kalau gitu gue pulang!!” sahut Resky.
”silahkan kalau lo ga’ pengen tahu, apa yang pengen Sasa omongin waktu itu sama lo!!” jawab dea.
”Sasa??dimana dia??kenapa dia tidak datang sendiri??” tanyanya.
“banyak omong lo..Sasa ga’ tahu kalau gue ajak lo kesini, sekarang lo ikutin kata-kata gue. Lo liat dua gedung kembar itu. Di gedung pertama ada tulisan “Reskyandra” dan gedung kedua bertuliskan “aqua, i love you”. Lo perhatikan tulisan itu sampai matahari muncul jam 05.30 tepat. Lo akan bisa liat maksudnya hanya dalam 7 menit saja. Kalau gitu gue pergi, gue harap lo ngerti maksud Sasa.” jelas Dea.
Dea meninggalkan Resky sendirian di atas gedung. Beberapa menit kemudian matahari mulai muncul melewati dua gedung tersebut. Tepat jam 05.30, posisi matahari berada di tengah-tengah ke 2 gedung. Tulisan yang berada di kedua gedung sebagian tertutupi oleh sinar matahari dan tidak bisa dibaca, sebagian tulisan yang bisa dibaca yaitu ”Resky” untuk gedung pertama dan ” i love you” untuk gedung kedua. Jika digabung kata itu menjadi “Resky i love you”. Resky dapat membaca tulisan itu, ia mengerti apa yang dimaksud Sasa 7 tahun silam. Resky merasa kedua kakinya tidak mampu berdiri. Ia tersimpuh, ia menangis dan berkata, “bodoh..bodoh..aku memang bodoh..aku ingin kembali ke masa lalu. Aku ingin kembali..aku ingin menemuinya Tuhan!!! Tolong aku..ahk..ahkk..ahkk.” teriaknya.

PART VI

            Di sebuah rumah bergaya classic modernt nan megah dan mewah, yang memiliki 4 lantai. Disekeliling rumah terdapat taman yang begitu indah yang dihiasi oleh bunga-bunga yang indah pula. Rumah ini memiliki 1 kolam renang, 1 kolam ikan, 1 lapangan helicopter beserta helicopternya dan 4 mobil mewah tertata rapi. Rumah ini juga memiliki 18 pembantu, 8 orang bertugas membersihkan dalam rumah, 2 orang koki, 4 orang satpam, 3 orang tukang kebun, 1 orang supir. Kunci istana megah ini tidak menggunakan kunci biasa tetapi voice remot atau remot suara, karena hanya dengan suara orang-orang yang tinggal disini yang dapat membukanya melalui alat kecil berbentuk remot. Istana megah ini milik keluarga Resky Rahadian Hidayat, disini Resky hanya tinggal dengan omanya karena kedua orangtuanya meninggal dalam kecelakaan pesawat 4 tahun silam. Resky adalah cucu oma Sofi, yang akrap sekali dengan Sasa tapi Resky tidak mengetahuinya.
open the door!!” Resky menggunakan voice remotnya untuk membuka pintu kamarnya. Kamarnya terbuka secara otomatis.
“Resky, kamu ga’ ke kantor??” tanya omanya yang melihat Resky di dalam kamarnya yang terbuka, oma berjalam ke kamar Resky dan duduk di sebelah Resky.
“ga’ oma, aku lagi pengen istirahat sebentar.” Sahutnya.
“tumben?? Biasanya kamu paling semangat kalau mau ke kantor.” Tanya oma penasaran.
“aku ga’ pa-pa oma. Oma mau kemana rapi banget?” tanya Resky.
“oma pengen check up ke RS. Kenapa mau ikut temani oma??” tanya oma.
“kapan-kapan aja ya oma.” Sahut Resky.
“Res, oma pengen kenalin kamu sama dr. Rey. Mau ya??ayo ikut oma??” pinta oma.
”oma, berhenti menjodohkan aku. Aku janji sama oma aku akan segera menikah tapi setelah aku menemukan..” Resky menghentikan ucapannya.
“menemukan siapa??pasti wanita masa lalu kamu itu kan??Resky apa kamu yakin dia masih sayang sama kamu, jangan-jangan dia sudah menikah. Nanti kamu kecewa.” Jelas oma sambil berlalu meninggalkan Resky.
“oma...” panggil Resky yang tanpa dihiraukan oleh omanya.
clouse the door” kata Resky yang diikuti menutupnya pintu kamar.
Semenjak kejadian tadi pagi, Resky tidak ke kantor. Pikirannya hanya tertuju pada penyesalan mengapa ia tidak datang waktu itu untuk menemui Sasa. Resky mulai berpikir untuk mencari Dea, karena ia pasti tahu keberadaan Sasa. Resky mengambil Handphone-nya, ia mulai memencet sebuah nomor.
“Jakson, saya punya tugas buat kamu!” kata Resky berbicara pada orang kepercayaannya itu.
“tugas apa boss?” tanya orang yang bernama Jakson tersebut.
“kamu cari informasi tentang seorang wanita bernama Dea, nanti malam saya minta datanya.” Perintah Resky.
”baik boss.” Jawabnya.
Resky menutup telphonnya, ia mengambil sebuah album foto yang ia simpan dengan rapi. Ia melihat foto dirinya dan Sasa yang sama persis seperti foto yang dimiliki Sasa.
“aku akan bisa melupakanmu jika foto ini sudah tidak dapat dilihat lagi. Aku akan menemukanmu Sa.” Bisik Resky pada foto itu.
            Beberapa jam kemudian oma Sofi sudah datang dari RS..
“Parman, kamu itu gimana sih!! kok tidak mengigatkan saya!! Kan catatan dr. Rey jadi ketinggalan di mobil!! Nanti kalau dibutuhkan bagaimana?? Ya sudah sana, nanti aku telpon dr. Rey saja.” Bentak oma pada Parman supirnya.
Suara oma mengagetkan Resky, ia keluar dari kamarnya. Dan menuruni tangga untuk mencari tahu ada apa dengan omanya.
“maaf nyonya sofi, sa..sa..ya..tidak tahu kalau itu punya dr. Rey..mari nyonya..” kata Parman ketakutan.
“ada apa oma??” tanya Resky.
“ini loh Parman, oma kan jadi kesel. Udah sana pergi!!” bentak oma lagi.
“pak Parman, maafin oma ya??” kata Resky.
“ga’ pa-pa den, saya yang salah. Permisi den..nyonya..” parman buru-buru meninggalkan Resky dan oma Sofi.
“emang apa sih oma yang ketinggalan??” tanya Resky pada omanya.
“catatannya dr. Rey” jawab oma.
“itu kan Cuma catatan oma, kenapa oma semarah ini. Coba aku lihat catatan apa sih.” Pinta Resky.
“oma juga tidak tahu, oma takut ini catatan penting. Ini coba kamu liat.” Kata oma sambil memberikan catatan pada Resky.
Resky membuka catatan tersebut, resky terkejut karena di catatan itu terselip foto dirinya dan Sasa seperti foto yang ia miliki. Resky membaca nama pemilik catatan itu.
“dr. Reysa Aridian Siregar Sp. EM.....Sasa??” Resky merasa jantungnya berdebar dengan cepat.
“Res, itu penting atau ga’ menurut kamu??” tanya oma.
“oma, apa benar ini foto dr. Rey yang selalu oma ceritakan pada Resky??” tanya Resky serius.
“iya, loh itu kan foto kamu Res??” kata oma heran.
“dia dimana oma??berapa no. HPx??” tanya Resky cepat.
“kenapa??” tanya oma tanpa menjawab.
“oma jawab dulu pertanyaanku??” kata oma.
“oma tidak tahu rumahnya. Tapi HPx oma tahu. Memang kenapa Res??” tanya oma ikut panik.
“nanti aku ceritakan oma. Berapa nomornya?” tanya Resky ulang.
Oma memberikan nomor Sasa, Resky segera menghubungi telpon tersebut.

Di Rumah Sakit...
“selamat ya pak..operasinya berhasil.” Kata Sasa pada keluarga pasien.
“terima kasih dokter” kata keluarga pasien tersebut.
Sasa kembali ke ruangannya, ia mendengar Hpnya berdering. Sasa mengangkat telponnya.
”hallo..” kata Sasa.
Tidak ada suara sedikitpun yang keluar dari telpon tersebut. Sasa mengulangi ucapannya lagi.
“hallo..ini siapa ya??hallo..” kata Sasa.
“Sasa..Sasa..kamu lupa dengan suaraku” tanya Resky.
Sasa terdiam, tidak terasa air matanya mengalir. Ia buru-buru menutup telponnya.
Tut..tut..tut..”Sasa..sasa..hallo..hallo..” Resky mencoba menghubungi Sasa lagi tapi Hpnya tidak aktif  lagi.
            Resky cepat-cepat pergi menuju Rumah Sakit, ia berharap bertemu Sasa disana. Sedangkan di RS, Sasa cepat-cepat pulang. Sasa mengendarai mobilnya cepat, ia tidak menuju rumahnya tetapi menuju sekolah SMA-nya dulu. Sasa menangis di atas gedung, ia mengingat kejadian 7 tahun silam. Tiba-tiba Sasa mendengar suara mobil berhenti. Ia melihat sosok Resky, Sasa berlari untuk sembunyi.
            Resky berada di atas gedung sekolah, ia berteriak memanggil Sasa. Tetapi tidak ada Respon. Tiba-tiba HP Resky bergetar, ada nomor Sasa yang muncul pada layar. Resky buru-buru mengangkatnya,
“Sa, kamu ada dimana??aku mencarimu ke RS tapi tidak ada??” tanya Resky membabi buta.
“Hi Res, apa kabar??” tanya Sasa tanpa menjawab pertanyaan Resky.
“Sa, kamu dimana??” tanya Resky kembali.
“aku di RS” jawab Sasa bohong.
“kamu bohong, mereka bilang kamu sudah pulang.” Tanya resky memastikan, Resky memutar-mutarkan badannya karena resky yakin Sasa berada tidak jauh dari lokasinya berdiri.
“kamu mencari siapa Res??jangan mencariku lagi. Aku bingung harus sembunyi dimana.” tanpa sadar Sasa berkata begitu yang membuktikan bahwa ia ada tidak jauh dari Resky.
Resky mulai mencari arah suara Sasa, akhirnya Resky mendapatkan sesosok wanita yang berdiri membelakanginya. Sosok itu adalah Sasa. Resky menarik tangan Sasa, Sasa terkejut karena ia ditemukan oleh Resky.
“kenapa kau sembunyi dariku??” kata Resky serius.
“ah..apa kabar??” jawab Sasa.
“apa kau tidak terbiasa menjawab pertanyaan orang??” tanya Resky kembali.
“Res, aku harus kembali ke RS. Ada panggilan emergency” jawab Sasa bohong.
“aku akan mengantarmu ke RS” balas Resky.
“tidak, aku bawa mobil.” Jawab Sasa.
Resky menarik tangan Sasa tanpa peduli penolakan-penolakan yang dilakukan Sasa.
“aduh..kau pulang saja” jawab Sasa gugup.
Resky tetap menarik tangan Sasa. Dan memasukkan Sasa ke dalam mobilnya.
“aduh..Res lepas..lepas donk..pasien lebih penting kan!!! Res..aku mau dibawa kemana!!” keluh Sasa.
Resky melajukan mobilnya tanpa arah dan tujuan.

PART VII

Di dalam mobil Sasa terdiam, begitupun Resky. Sasa mulai gelisah sendiri dan memberanikan dirinya untuk bicara.
“Res, antar aku ke RS. Sekarang!!” pinta Sasa tanpa menoleh ke arah Resky.
”baik. Tapi kau harus jawab smua pertanyaanku terlebih dahulu!” Resky memberikan syarat.
”kalau aku gak mau jawab??” tanya Sasa menantang.
”brarti kita akan berputar-putar sepanjang malam” ancam Resky
”APA???kau pikir kau siapa??brani skali mengaturku seperti itu??” jawab Sasa dengan penuh emosi.
Tanpa menghiraukan Sasa Resky mulai bertanya, ” Sudah berapa lama kau di Indonesia?”
Sasa diam.
”Jawablah pertanyaanku Sa??” pinta Resky
”6 bulan yang lalu.” jawab Sasa pendek
”sudah selama itu??kenapa kau tidak menghubungiku?” tanya Resky lagi
”Hp-Q hilang jadi nomermu hilang” jawab Sasa
”aku terima alasanmu, tapi apa kau lupa nomer sahabatmu sendiri Sarah??atau Fadli?” tanya Resky
”aku lupa.” jawab Sasa
”Sa, kau masih marah padaku?” tanya Resky
”Marah??buat apa??” jawab Sasa dengan nada meninggi.
”aku sudah tau Sa, 7 menit di atas gedung sekolah.” jelas Resky
Sasa terdiam, dadanya tiba-tiba sakit karena memendam rasa rindu yang ia sembunyikan dari Resky. Mata Sasa mulai merah tapi ia tidak ingin menangis di depan Resky yang menyakitinya.
”Sa..” kata Resky
”mmm..itu udah gak penting lagi buat aku!! Semuanya udah berlalu Res, rasa cinta itu udah gak ada lagi” jawab Sasa berbohong dengan ekspresi tersenyum pada Resky.
”benarkah??”tanya Resky
”Aku sudah bertunangan Res!!” Sasa ingin menyakinkan Resky dengan berbohong.
”APA??jangan bercanda Sa..” Resky terkejut dan memberhentikan mobilnya secara tiba-tiba.
”Res, kamu udah gila ya??ini berbahaya Res!!” Sasa terkejut dengan tindakan Resky.
”Kamu bohong kan Sa??” tanya Resky ulang
”TIDAK.” jawab Sasa tegas.
”kalau begitu aku ingin tau siapa tunanganmu??” tantang Resky karena ia yakin sasa berbohong. Ia ingat waktu omanya memaksa dia untuk menjodohkan dengan dr. Rey yaitu Sasa. Resky percaya omanya gak mungkin akan menjodohkan dia dengan perempuan yang sudah mempunyai tunangan.
”eh..eh..bo..boleh..” Sasa mulai gugup karena dia bingung siap yang akan dikenalkannya pada Resky.
”tunanganmu dokter?atau petugas RS?” tanya Resky
”eh..Bony, eh..maksudQ petugas RS.” Sasa binggung, sampai-sampai ia menyebutkan petugas Office Boy ( OB ) yang bernama Bony di UGD. Bony orang yang lucu, ia bertubuh gendut dan pendek. Ia mengigatkan Sasa pada tokoh doraemon yang disukainya, karena hal itu Sasa menjadi berteman dengan Bony.
Tiba-tiba hujan turun dengan lebatnya, maka Resky terpaksa menuju ke RS tempat Sasa bekerja. Sesampainya di RS, Sasa menyuruh Resky segera pulang.
”udah sana pulang.” usir Sasa
”kau tidak sopan sekali ya. Sudah diantar, bukannya berterima kasih malah diusir” protes Resky.
Resky melanjutkan ucapannya, ”skalian aku pengen kenalan dengan tunanganmu yang bernama Bony? Dia bekerja disini juga kan?” pinta Resky
”oh..My GOD” rintih Sasa lirih
”kau bilang sesuatu?” tanya Resky
”tidak.” jawab Sasa singkat.
Tiba-tiba Bony datang menghampiri Sasa.
”dokter..dokter..kenapa kesini lagi?” tanya Bony
Resky membaca nama Bony yang tertera di Bajunya.
“Bony???” tanya Resky
“iya” jawab Bony
“oh, jadi ini tunangan kamu??” tanya Resky
Tanpa banyak tanya Sasa memeluk Bony dan berbisik di telinganya.
”Bon, kali ini bantu aku ya?ikuti saja apa yang aku katakan, kamu gak usah banyak bicara tinggal mengangguk saja, okey?” pinta Sasa
Bony menganggukkan kepalanya, walaupun ia merasa binggung dengan apa yang dilakukan oleh Sasa.
”wah, lama sekali pelukannya??” tanya Resky
”memangnya kenapa?” protes Sasa
”hai, Bon..aku Resky” tanya Resky sambil menjabat tangan Bony.
”hai juga, saya sudah mengenal anda P.Resky” jawab Bony. Walaupun Resky seorang pengusaha tapi ia terkenal layaknya selebritis karena kesuksesannya di usia muda yang disertai wajahnya yang tampan.
”kenal dimana dengan Sasa?” tanya Resky lagi
”UGD” jawab Sasa terburu-buru yang disertai anggukan kepala oleh Bony
”sudah berapa lama tunangan sama Sasa, Bon?” tanya resky ulang
”skitar 5 bulan” jawab Sasa lagi disertai dengan anggukan Bony lagi
”Sa, aku tidak bertanya padamu tapi pada orang yang kau akui tunanganmu ini!” protes Resky
”Kau ini!! Dia memang tunanganku. Sudah sana pulang.” bentak Sasa
”dokter, hujannya kan masih deras? biarkan P.Resky disini dulu? nanti dia kedinginan” pinta Bony khawatir pada Resky
”tidak perlu dia punya penghangat dimobilnya.” protes Sasa.
”dokter?? walaupun sudah tunangan harus panggil dokter ya??” tanya Resky dengan nada introgasi
”dokter Rey atasan saya, jadi harus sopan.” jawab Bony lugu
Resky hanya tersenyum melihat ekspresi Sasa yang mengerutkan dahi kearah Bony.
”dokter biarkan P.Resky disini karena jalannya pasti licin, berbahaya bagi pengendara” pinta Bony lagi
Sasa berpikir Bony benar, dia tidak ingin terjadi sesuatu yang buruk terhadap Resky.
”baiklah, kau boleh disini sampai hujan reda. Antarkan dia Bon?” kata Sasa pada Resky dan Bony secara bersamaan sambil berlalu menuju UGD meninggalkan keduanya.
Dalam hati Resky bersorak kegirangan karena ia bisa lama-lama dengan Sasa. Tiba-tiba resky dikejutkan dengan suara Bony yang mengajaknya masuk.
”Pak..Pak Resky?? Mari pak masuk..” pintanya yang disertai anggukan Resky.
Resky berjalan disamping Bony, yang terus masuk ke dalam ruang UGD melalui pintu samping. Bony menekan tombol lift, setelah itu ia menekan angka 6. Lift mulai berjalan menuju lantai enam, dalam lift Resky mulai bertanya pada Bony.
”emm..P.Bony..” Resky tidak meneruskan ucapannya karena Bony tiba-tiba memotong pembicaraannya.
”ah..jangan panggil saya pak, saya kan hanya OB pak Resky. Panggil saya Bony saja.” pintanya.
”baiklah..Bon, memang kamu benar bertunangan dengan Sasa?” tanya Resky
”Sasa? Maksud P.Resky, dr.Rey??” tanya Bony
”iya..kamu gak tau nama panggilan kecil dr.Rey? katanya dia tunanganmu?” slidik Resky
”ah..gak, dr.Rey tadi cuma bercanda. Saya juga gak tau P.Resky tiba-tiba dr.Rey suruh saya mengangguk saja. Kalau boleh saya tau, P.Resky dengan dr.Rey ada hubungan apa ya?” tanya Bony dengan lugunya.
”emm..gak Cuma teman lama.” jawab Resky
”oh..saya pikir teh P.Resky ini pacarnya dr.Rey.” jawab Bony sambil mereka kluar dari dalam lift.
”P.Resky, bapak bisa tunggu disini. Ini ruangannya dr.Rey, mari..” kata Bony sambil membuka pintu ruangan Sasa.
”nah..disini juga ada tempat istirahatnya. Silahkan anda tiduran disini dulu. Saya tinggal dulu ya P.Resky?” lanjut Bony
”ya..trimakasih ya Bon.” sahut Resky
”sama-sama pak.” jawab Bony.
”eh..tunggu Bon. Sasa-nya mana? Dia ada operasi atau apa?” tanya Resky
”jadwal kerja dr.Rey sudah selesai, seharusnya besok sore baru ke RS lagi tapi saya teh bingung kenapa dr.Rey kesini lagi. Padahal gak ada pasien yang gawat.” jelas Bony.
”ya sudah..skali lagi makasih ya Bon.” jawab Resky.
”ya” jawab Bony singkat sambil berlalu meninggalkan Resky.
Resky mulai melihat-lihat isi ruangan, satu persatu ia lihat. Ia tersenyum melihat foto-foto yang ada di meja kerja Sasa. Itu adalah foto-foto Sasa dan Sarah beserta Fadli. Tapi ia kecewa tidak ada foto dirinya di meja Sasa.
”Sa, apa kau benar2 ingin melupakanku?” tanya Resky lirih dalam hatinya. Resky membuka pigura yang berisi foto-foto Sasa itu. Saat tangannya mulai membuka, ada satu foto kecil jatuh dari pigura tersebut yang ukurannya 4x6 cm. Resky mengambil foto itu, ia terkejut ternyata foto yang jatuh adalah foto-nya waktu SMA dulu. Resky tersenyum lebar ia berkata dalam hatinnya, ” aku yakin tidak semudah itu melupakanku Sa.”. ia mengembalikan kembali posisi pigura seperti awal. Tiba-tiba pintu terbuka, Sasa masuk ke dalam ruangannya. Dengan wajah tanpa ekspresi Sasa memberitahu Resky hujan sudah reda.
”hujan sudah reda” jelas Sasa singkat
oh..” jawab Resky singkat
”pulanglah..” pinta Sasa
”Sa..apa kau tidak bisa ngobrol sebentar denganku” kata Resky
”pulanglah..” pinta Sasa lagi
”tapi..Sa,” bantah Resky sambil memegang tangan Sasa
Leave me alone, please!!” jawab Sasa dengan emosi dan menghempaskan tangan Resky yang ingin menyentuh tangannya. Resky tidak mampu berkata lagi, ia pulang meninggalkan Sasa sendirian didalam ruangannya. Sasa buru-buru menutup rapat ruangannya. Ia menangis, ia tidak ingin mengingat Resky lagi. Ia ingin bisa melupakan Resky.

PART VIII

            Resky memarkirkan mobil di garasinya, ia buru-buru masuk kamarnya. Oma Sofi heran melihat perilaku Resky belakangan ini.
Resky hanya terdiam, ia mengambil nafas panjang dari hidungnya dan merenung memikirkan perilaku Sasa yang ingin menghindarinya. Tiba-tiba HP-nya berbunyi..
”ya, Jason..” jawab Resky
boss, saya sudah tau siapa Dea. Saya menuju rumah anda untuk memberikan datanya.” lapor Jason
”bagus, saya tunggu.” sahut Resky sambil menutup telponnya.
Beberapa menit kemudian, Jason menyerahkan data tentang Dea pada Resky.
good job” kata Resky yang dibarengi dengan perginya Jason. Resky mulai mempelajari siapa Dea, kehidupannya hingga orang-orang yang dekat dengannya. Semua informasi ia dapatkan dengan mudah melalui kaki tangannya.

Di Apartemen..
            Sasa membaringkan tubuhnya yang sangat lelah. Ia membuka diary yang ia letakkan di bawah bantalnya. Ia ingin mencurahkan apa saja yang terjadi pada dirinya hari ini. Sasa mulai menggerakkan pulpennya,
......sungguhku takkan bisa, sampai kapanpun tak bisa.
Membenci dirimu, sesungguhya aku tak mampu.
Sulit untukku bisa, sangat sulit tuk ku bisa.
Membedakan sgala..
Cinta dan Benci yang ku rasa..” tulisnya sambil menitikkan air mata.
Sasa menutup diarynya, ia ingin benar-benar melupakan Resky. Sedangkan di tempat yang berbeda, Dea sedang tiduran sambil memikirkan betapa hebat dirinya karena sudah berani berperilaku tidak sopan pada Resky. Dea mulai memikirkan jika Resky marah padanya yang jadi korban adalah ayahnya karena ayah Dea menjalin kerja sama dengan perusahaan Resky.
”huhf..gue gak pikir panjang sih. Seharusnya gue pakek cara yang lebih sopan.” celetus Dea pada dirinya sendiri.
”tapi tindakan gue bener, ini kan buat dia sadar kalau Sasa tulus cinta sama dia. Iya gak sih?” tanya Dea pada bonekanya yg tidak mungkin bisa menjawab pertanyaannya.
Tiba-tiba bel apartemennya berbunyi. Dea beranjak dari tempat tidurnya untuk melihat siapa yang datang. Dea membuka pintu, ia begitu terkejut dengan lelaki yang datang menghampirinya. Lelaki itu adalah Resky.
”mampus gue..” ucapnya lirih.
”hai..boleh saya masuk” tanya Resky.
”hmmm..bo..bo..leh” jawab Dea gelagapan.
Resky masuk ke dalam apartemen Dea. Dea yakin ia pasti akan membatalkan perjanjian kerjasama dengan perusahaan ayahnya. Dea menarik nafas dalam-dalam dan ia mulai berbicara yang gak jelas arah dan tujuannya.
”mm..waktu itu, gue..maksudnya aku, eh salah..saya hanya ingin memberitau kamu tentang perasaan Sasa. Jadi jangan marah, jangan putuskan kerjasama lo..maksud gue, anda..dengan bokap gue, salah..salah maksud saya, dengan ayah saya.” kata Dea sambil garuk-garuk kepala.
”ne mulut susah bener sih diajak kompromi” ucap Dea lirih kemudian.
Resky tersenyum dengan tingkah laku Dea. Dalam hatinya ia berkata tidak mungkin memutuskan kontrak hanya dengan masalah pribadi.
”tenang saja..saya professional jd anda tidak perlu khawatir.” jawab Resky
”huft..syukurlah. gue pikir lo bakalan marah..truz lo ngapain kesini?” tanya Dea tanpa menggunakan bahasa yg resmi lagi.

---------------------------------------To be Continue -----------------------------------------







 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | cheap international calls